Teknologi Reproduksi Berbantu
Teknik bayi tabung atau Invitro Vertilization (IVF) kali pertama di dunia dilaksanakan di Inggris pada 1977 oleh Patrick Steptoe, seorang dokter ahli kandungan dan Robert Edwards seorang dokter ahli faal. Steptoe melaksanakan program tersebut pada pasangan Lesley dan John Brown yang belum dikaruniai keturunan setelah sembilan tahun menikah. Menggunakan laparoskopi, Steptoe mengambil sel telur dari ovarium Lesley Brown. Sel telur tersebut oleh Edwards dicampurkan dengan sel sperma John Brown, kemudian ditempatkan dan disimpan pada cairan khusus supaya terjadi pembelahan sel. Sel telur yang telah dibuahi tersebut menjadi embrio dan dalam waktu dua setengah hari embrio tersebut dikembalikan ke dalam rahim Lesley yang kemudian berhasil hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi yang lahir pada 25 Juli 1978 tersebut merupakan bayi tabung pertama yang kemudian diberi nama Louise Brown.
Di Indonesia, IVF atau Teknologi Reproduksi Berbantu (TRB) mulai dikenal sejak 1984. Kelahiran bayi tabung pertama di Indonesia terjadi di pusat TRB Makmal Terpadu Imunoendokrinologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo Jakarta pada 1987. Pelayanan TRB menyusul kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Semarang dan Bandung. Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat maka pelayanan ini diperluas ke pusat pelayanan swasta dengan pengawasan dari Departemen Kesehatan. Saat ini di Indonesia terdapat 21 pusat pelayanan TRB termasuk di SMC RS Telogorejo Semarang.
dr. Fadjar Siswanto, Sp.OG, K.FER selaku dokter Obstetri & Ginekologi SMC RS. Telogorejo Semarang mengemukakan bahwa TRB menjadi pilihan apabila didapatkan kelainan pada istri atau suami atau gabungan faktor suami dan istri yang belum berhasil hamil walau sudah dilakukan pengelolaan sesuai dengan kelainan yang didapatkan. “Pada suami penyebab paling tinggi adalah kualitas spermatozoa yang kurang baik, disfungsi ereksi, serta sumbatan saluran sperma.” kata Fadjar.
Pada wanita, lanjutnya, (kelainan) yang paling sering adalah faktor tuba, gangguan ovulasi ovarium, cadangan ovarium yang kurang, endometriosis hingga perlekatan-perlekatan bekas infeksi panggul terutama infeksi chlamydia. Pada beberapa pasangan yang setelah menjalani pemeriksaan baik suami dan istri tidak ditemukan kelainan atau disebut unexplained infertilitas, program TRB sering menjadi pilihan. TRB merupakan pilihan terakhir bila penanganan yang dilakukan sudah sesuai dengan penyebab tetapi belum berhasil hamil. TRB bisa menjadi pilihan dengan kondisi keberhasilan berkisar 25 % hingga 40 %, proses yang rumit, biaya tinggi dan mensyaratkan komitmen kuat dari pasien.
Keberhasilan TRB Berdasarkan Usia Pasien
Berdasarkan usia, pasien dibagi ke dalam empat kelompok yakni kurang dari 35 tahun, 35-37 tahun, 38-41 tahun dan di atas 42 tahun. Program TRB paling baik dikerjakan pada usia kurang dari 35 tahun. Semakin tua usia semakin kecil keberhasilannya. Dari jumlah total TRB yang dilakukan, persentase kehamilan yang terbesar terdapat pada usia kurang 35 tahun (25-30 %), disusul usia 35-37 tahun (20-25 %), usia 38-40 tahun (5-10 % ) dan 41 tahun atau lebih (1-2 %).
Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta, hampir sekitar 15 persen mengalami permasalahan infertilitas. Karena itu, diperlukan sistem pelayanan infertilitas yang terstruktur dan terarah, dibutuhkan unit pelayanan yang berjenjang (primer, sekunder, tersier) dan sistem rujukan, kerjasama atau jejaring antarunit pelayanan. Hal tersebut disebabkan pelayanan yang terbatas, geografis yang sulit dan sangat dipengaruhi tingkat ekonomi, pemahaman tenaga medis maupun pengetahuan pasangan suami istri yang masih kurang.
Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Call Center 24 jam SMC RS Telogorejo di nomor telepon (024) 8646 6000, (024) 8452912, Ph. 08112791949 (Dinda)
Leave a reply →